Penyebab
Difteria di sebabkan
oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae.
Difteria berasal dari bahasa yunani yaitu Diphtera yang artinya kulit yang
tersembunyi.
Pada membrane mukosa
manusia Corynebacterium Diphtheriae dapat
hidup bersama-sama dengan kuman Diphteroid Saprofit yang mempunyai morfologi
serupa, sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan
cara fermentasi Glikogen, kanji,
Glukosa, Maltosa dan Sukrosa.
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang
terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis : koloninya besar,
kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis : koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks,
dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate : koloninya kecil,
halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis
eritrosit.
Basil dapat membentuk :
Ø
Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah
dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit,
jaringan nekrotik dan basil.
Ø Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat
meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan
saraf. Minimum
lethal dose(MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml
toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji
Schick.
Eksotoksin yang diproduksikan oleh bakteri merupakan
suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat
memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakterofag yang mengandung toksigen.
Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita
atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya
bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan
teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan
otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada
pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai
beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.
GEJALA DAN TANDA
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri
menelan disebabkan terdapat peradangan pada tenggorokan. Pada anak tak jarang
diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan di kalenjar
getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes 2003).
Corynebacterium Diphtheriae bersifat toxin-mediated disease yang membentuk membran atau selaput pada nasofaring (Pseudomembrane) dan toksin dapat menyebar ke dalam aliran darah yang bisa mengakibatkan miokarditis, neuritis, trombositopenia dan proteinuria.
Masa tunas 3-7 hari khas adanya Pseudo membrane
selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat
eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam
tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga
penderita tampak sangat lemas. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas
untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak
nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung
pada jaringan yang terkena seperti mokorditis paralysis jaringan saraf atau
nefritis.
PENGOBATAN
Pasien harus di rawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien lainnya. pengobatan ditunjukkan untuk memulihkan pasien akibat peradangan dan toksin bakteri itu sendiri.
pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.
Pengobatan Khusus
Antitoksin
Antitoksin : Anti
Difteri Serum (ADS) Antitoksin harus
diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada
hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama
Sakit
Tipe Difteria
|
Dosis ADS (KI)
|
Cara pemberian
|
Difteria Hidung
|
20.000
|
Intramuscular
|
Difteria Tonsil
|
40.000
|
Intramuscular/ Intravena
|
Difteria Faring
|
40.000
|
Intramuscular/ Intravena
|
Difteria Laring
|
40.000
|
Intramuscular/ Intravena
|
Kombinasi lokasi diatas
|
80.000
|
Intravena
|
Difteria + penyulit, bullneck
|
80.000-100.000
|
Intravena
|
Terlambat berobat (>72 jam)
|
80.000-100.000
|
Intravena
|
Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji
mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum
1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis.
Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva
bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan
cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml
glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin
melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah
penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap
berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin
dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang
padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin
atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk
terapi difteri nasofaring.4 Dosis :
> Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
> Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
> Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam 4 dosis.
> Amoksisilin.
> Rifampisin.
> Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
> Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).
> Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14 hari.
> Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam 4 dosis.
> Amoksisilin.
> Rifampisin.
> Klindamisin.
Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.
Kortikosteroid
Belum ada
persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan
korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit
miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis
ternyata tidak terbukti.
Dosis : Prednison
1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.
Pengobatan
Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga
agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada
umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi. Pengobatan terhadap miokarditis dengan
istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan
pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan
terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan
menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga.
PENCEGAHAN
Pencegahan yang di
lakukan dengan memberikan imunisasi DPT
pada bayi , dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar. Suatu penilitian
melaporkan bahwa pada golongan anak yang diimunisasi terjadi infeksi ringan
sebanyak 81,3%, infeksi sedang 16, 4%, dan infeksi berat 59,5%. Mortalitas pada
anak yang tidak diberi imunisasi empat kali lebih besar dibandingkan anak yang
di beri imunisasi.
Setiap bayi (0-1
tahun) perlu di beri vaksin DPT sebanyak tiga kali yang dimulai pada anak usia
dua bulan dengan selang waktu antar suntikkan minimal satu bulan, dan diulangi
lagi setelah anak berusia 6-7 tahun melalui program BIAS (bulan imunisasi anak
sekolah) di sekolah dasar.