Minggu, 24 April 2016

Mengenal penyakit Difteria

Penyakit Difteri adalah penyakit akut yang di sebabkan oleh toksin dari bakteri Corynebacterium Diphtheriae. Penyakit ini pertama kali di perkenalkan oleh Hippocrates pada abad ke-5 SM, pada abad ke-6 M Aetius menceritakan tentang epidemic Difteria. Pada tahun 1883 kuman difteria di teliti lebih lanjut oleh Klebs pada pseudomembran dan kemudian di kembang biakkan oleh Loffler pada tahun 1884. Pada akhir abad ke-19 para ahli menemukan antitoksin difteria.


Penyebab

Difteria di sebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae. Difteria berasal dari bahasa yunani yaitu Diphtera yang artinya kulit yang tersembunyi.

Pada membrane mukosa manusia Corynebacterium Diphtheriae dapat hidup bersama-sama dengan kuman Diphteroid Saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk membedakan kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara  fermentasi Glikogen, kanji, Glukosa, Maltosa dan Sukrosa.

Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3 jenis basil yang dapat memproduksi toksin, yaitu:
Gravis : koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan hemolisis eritrosit.
Mitis : koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Intermediate : koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam di tengahnya dan dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.

Basil dapat membentuk :

Ø   Pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan basil.

Ø   Eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Minimum lethal dose(MLD) toksin ini adalah 0,02ml. Satu perlima puluh ml toksin dapat membunuh marmut dan kurang lebih 1/50 dosis ini dipakai untuk uji Schick.

Eksotoksin yang diproduksikan oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakterofag yang mengandung toksigen.


Bakteri ini ditularkan dropplet dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembang biak pada atau disekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan beberapa jenis bakteri ini menghasilkan teksik yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. Masa inkubasi 1-7 hari (rata-rata 3 hari). Hasil difteria akan mati pada pemanasan suhu 600C selama 10 menit, tetapi tahan hidup sampai beberapa minggu dalam es, air, susu dan lender yang telah mengering.

GEJALA DAN TANDA

 Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan disebabkan terdapat peradangan pada tenggorokan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan di kalenjar getah bening di leher sering terjadi (Ditjen P2PL Depkes 2003).

Corynebacterium Diphtheriae bersifat toxin-mediated disease yang membentuk membran atau selaput pada nasofaring (Pseudomembrane) dan toksin dapat menyebar ke dalam aliran darah yang bisa mengakibatkan miokarditis, neuritis, trombositopenia dan proteinuria. 

 Masa tunas 3-7 hari khas adanya Pseudo membrane selanjutnya gejala klinis dapat dibagi dalam gejala umum dan gejala akibat eksotoksin pada jaringan yang terkena. Gejala umum yang timbul berupa demam tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, nyeri kepala dan anoreksia sehingga penderita tampak sangat lemas. Gejala ini biasanya disertai dengan gejala khas untuk setiap bagian yang terkena seperti pilek atau nyeri menelan atau sesak nafas dengan sesak dan strides, sedangkan gejala akibat eksotoksin bergantung pada jaringan yang terkena seperti mokorditis paralysis jaringan saraf atau nefritis.




 PENGOBATAN

Pasien harus di rawat di ruang isolasi rumah sakit untuk menghindari penularan ke pasien lainnya. pengobatan ditunjukkan untuk memulihkan pasien akibat peradangan dan toksin bakteri itu sendiri. 

pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori. penderita diawasi ketat atas kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain dengan pemeriksaan EKG pada hari 0, 3, 7 dan setiap minggu selama 5 minggu. khusus pada difteri laring di jaga agar  nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer.


Pengobatan Khusus

Antitoksin

Antitoksin : Anti Difteri Serum (ADS)  Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. 

Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit
Tipe Difteria
Dosis ADS (KI)
Cara pemberian
Difteria Hidung
20.000
Intramuscular
Difteria Tonsil
40.000
Intramuscular/ Intravena
Difteria Faring
40.000
Intramuscular/ Intravena
Difteria Laring
40.000
Intramuscular/ Intravena
Kombinasi lokasi diatas
80.000
Intravena
Difteria + penyulit, bullneck
80.000-100.000
Intravena
Terlambat berobat (>72 jam)
80.000-100.000
Intravena


Sebelum Pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu, oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara desentisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara 20.000-120.000 KI. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).

Antibiotik

Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan terhadap berbagai agen invitro, termasuk penisilin, eritromisin, klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin. Sering ada resistensi terhadap eritromisin pada populasi yang padat jika obat telah digunakan secara luas. Yang dianjurkan hanya penisilin atau eritromisin. Eritromisin sedikit lebih unggul daripada penisilin untuk terapi difteri nasofaring.4 Dosis : 

> Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari i.m. , tiap 2 jam selama 14 hari                    atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-). 
> Eritromisin 40-50   mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o. , tiap 6 jam selama 14                      hari. 
> Penisilin G kristal aqua 100.000-150.000 U/kgBB/hari, im atau iv dibagi dalam                4 dosis. 
> Amoksisilin. 
> Rifampisin. 
> Klindamisin.  

Terapi diberikan selama 14 hari. Tidak adanya organisme diperoleh sekurang-kurangnya dua biakan berturut-turut dari hidung dan tenggorok yang diambil berjarak 24 jam sesudah selesai terapi.

Kortikosteroid

Belum ada persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteri. Dianjurkan korikosteroid diberikan kepada kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dapat disertai atau tidak disertai bullneck dan bila terdapat penyulit miokarditis, namun pemberian kortikosteroid untuk mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.

Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari.

Pengobatan Penyulit

 Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin yang pada umumnya reversibel. Bila pasien mulai gelisah, iritabilitas meningkat serta gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeotomi. Pengobatan terhadap miokarditis dengan istirahat total, tidak boleh ada aktivitas, diet lunak dan mudah dicerna, dan pemberian digitalis. Sedangkan pengobatan terhadap neuritis yang mengakibatkan terjadi paralisis otot pernafasan dilakukan artifisial respirasi dengan menggunakan intermitten positive pressure dan jalan nafas harus selalu dijaga.




PENCEGAHAN


Pencegahan yang di lakukan  dengan memberikan imunisasi DPT pada bayi , dan vaksin DT pada anak usia sekolah dasar. Suatu penilitian melaporkan bahwa pada golongan anak yang diimunisasi terjadi infeksi ringan sebanyak 81,3%, infeksi sedang 16, 4%, dan infeksi berat 59,5%. Mortalitas pada anak yang tidak diberi imunisasi empat kali lebih besar dibandingkan anak yang di beri imunisasi.


Setiap bayi (0-1 tahun) perlu di beri vaksin DPT sebanyak tiga kali yang dimulai pada anak usia dua bulan dengan selang waktu antar suntikkan minimal satu bulan, dan diulangi lagi setelah anak berusia 6-7 tahun melalui program BIAS (bulan imunisasi anak sekolah) di sekolah dasar.